Nusaibah binti Ka’ab

​Nusaibah binti Ka’ab merupakan wanita yang berasal dari Bani Najar, Khazrah. Ia merupakan salah satu pemula dari kaum Anshor yang beriman dan mengucapkan baiat, yang mana Rasulullah SAW membaiatnya pada baiat Aqabah Kubro yang terdiri dari 74 laki-laki dan dua perempuan, yaitu Nusaibah binti Ka’ab (Ummu ‘Imaroh) dan Asma binti Amru (Ummu Manii’).

Ketika kaum muslimin keluar untuk menemui musuhnya, Ummu Imaroh adalah salah satu wanita yang ikut bersama pasukan lainnya. Dengan kantung tas air yang terbuat dari kulit domba, Ummu ‘Imaroh mengelilingi kaum muslimin yang kehausan untuk memberikan minum, bersamanya juga perban yang telah ia gantungkan di tengah, dengan itu ia balut luka-luka para tentara muslim. Ummu ‘Imaroh juga ikut memantau peperangan, ia melihat kemenangan kaum muslimin, hal itu membuat hatinya senang dan dadanya lapang. Akan tetapi hal yang membuatnya senang berlalu begitu cepat, keadaan berbalik menjadi kekalahan, setelah pasukan panah dari kaum muslimin mengingkari perintah Rasulullah SAW, mereka meninggalkan tempat mereka yang menjadi strategi perang saat itu, lalu terjadilah kekacauan di jajaran kaum muslimin, banyak dari mereka berlari dari sekitar Rasulullah SAW dan hanya tersisa 10 laki-laki yang melindungi di sekitarnya. Melihat hal ini, Ummu ‘Imaroh bergegas menghampiri Rasulullah SAW dan ikut mengawasinya. Rasulullah SAW memalingkan wajahnya pada pasukan muslimin yang berlari, lalu memerintahkan mereka untuk memberikan senjatanya pada orang-orang yang masih terus berperang. Dengan segera Ummu ‘Imaroh mengambil perisai dan membunuh siapa yang mencoba mendekat ke arah Rasulullah SAW. Pada waktu yang genting ini, tersisa bersama Ummu ‘Imaroh kedua anak dan suaminya. Keluarga Ummu ‘Imaroh sangat menepati janji pada baiatnya, di saat banyaknya pasukan justru berlari dari sekitar Rasulullah SAW. Yang mana mereka merupakan sosok yang dikenal pemberani dan pakar dalam medan perang, namun saat itu adalah waktu di mana kaki-kaki bergetar, jantung berasa sudah sampai di kerongkongan, maka yang tersisa saat itu hanyalah 10 orang laki-laki dan Ummu ‘Imaroh.

Perang semakin menjadi-jadi, para sahabat spontan membuat lingkaran yang mengelilingi Rasulullah SAW. Mereka menyayatkan pedang, melempar tombak, dan memanahkan busur panahnya tanpa sedikitpun merasakan  lemas di tangan, juga tanpa mengedipkan mata mereka mengikuti gerak-gerik musuh yang ingin membunuh Rasulullah SAW. Saat itu, Ummu ‘Imaroh merupakan orang yang sangat melindungi Rasulullah SAW dengan melawan musuh menggunakan pedang dan busur panahnya. Anak Ummu ‘Imaroh, Abdullah bin Zaid terluka di tangan kirinya, namun ia tidak memedulikannya dan tetap ikut berperang. Melihat darah mengalir dari lukanya, Rasulullah SAW berkata “balut lukamu wahai Abdullah”. Mendengar hal itu, Ummu ‘Imaroh segera menghampiri anaknya, membalut lukanya, lalu berkata “bangkit dan berperanglah anakku”, maka bangkitlah ia.

Rasulullah SAW sangat takjub dengan sikap Ummu ‘Imaroh, lalu berkata kepadanya “tidak ada orang lain sepertimu wahai Ummu ‘Imaroh”. Kemudian dihadapkanlah Rasulullah SAW dengan orang yang melukai anak Ummu ‘Imaroh, seraya berkata “ini adalah orang yang melukai anakmu wahai Ummu ‘Imaroh”. Bergegas Ummu Imaroh datang menghampirinya, memukul betisnya, dan terjatuhlah ia. Lalu kaum muslimin lainnya ikut menolong dengan membunuhnya bersama-sama. Rasulullah SAW senyum dan berkata pada Ummu ‘Imaroh “kau telah men-qishosnya wahai Ummu ‘Imaroh”.

Ibnu Qumaiah bergegas menuju Rasulullah SAW dan berkata “tunjukkan aku pada Muhammad! Di mana Muhammad?! Tidaklah berhasil bagiku jika dia (Muhammad) berhasil”. Lalu dia menghampiri Ummu ‘Imaroh dan menyayatnya dengan pedang pada bahunya. Ummu ‘Imaroh amat terluka, darahnya mengalir deras. Melihat kejadian itu, Rasulullah SAW memanggil anaknya seraya berkata “wahai anak Ummu ‘Imaroh, ibumu.. ibumu, balut lukanya, semoga Allah SWT memberkati kalian”.

Ummu ‘Imaroh menoleh ke arah Rasulullah SAW, lalu berkata “wahai Rasulullah SAW, doakan kami agar menemanimu di surga”. Rasulullah pun berdoa “ya Allah jadikanlah mereka teman-temanku di surga”.

Perjalanan jihad Ummu ‘Imaroh bersama Rasulullah SAW tak berhenti di sini, dia melengkapinya dengan turut serta keluar ke medan perang bersama wanita muslimah serta tentara lainnya. Memberi minum bagi tentara yang kehausan, mengobati luka, menghitung barang-barang tentara, serta langsung ikut serta turun ke medan perang jika hal itu diperlukan, seperti yang terjadi pada perang Uhud. Ummu ‘Imaroh juga hadir bersama Rasulullah SAW pada perang Hudaibiyah, Khoibar, Umroh Qodiyah, Hunain, dan Baiat Ridwan.

Ketika telah jelas munculnya Musailamah al-Kazzab di Yamamah yang mengaku sebagai nabi, Rasulullah SAW mengirim utusannya, Habib bin Zaid anak Ummu ‘Imaroh untuk mengirimkan surat. Musailamah al-Kazzab bertanya kepada Habib, “apa kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”, Habib menjawab “tidak”. Musailamah bertanya lagi, “apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?”, Habib menjawab “ya, saya bersaksi bahwa nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SAW”. Ketika itu Musailamah langsung mengikat kedua tangan dan kaki Habib, mengambil dan memotong bagian tubuhnya sepotong-sepotong, seraya bertanya “apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”, dengan lantang Habib menjawab “tidak, namun aku bersaksi bahwa nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SAW”. Musailamah pun semakin mengazabnya karena sikapnya yang kokoh seperti gunung.

Kabar mengenai anaknya pun sampai kepada Ummu ‘Imaroh. Dengan lapang dia mengucap inna lillahi wa inna ilaihi rooji’unn dan hasbunallah wa ni’mal wakiil, lalu bersumpah akan membalas apa yang dilakukan terhadap anaknya. Bergulirlah waktu, dan Habib telah berpindah ke rahmatullah.

Sebagian warga Arab memurtadkan diri mereka dan mengagungkan Musailamah. Mengetahui hal ini, Abu Bakar segera menyiapkan tentara muslim untuk memerangi kaum murtad. Dengan segera Ummu ‘Imaroh ikut serta memerangi Musailamah al-Kazzab. Berlangsunglah perang dan Ummu ‘Imaroh ikut serta bersama kaum muslimin dalam perang. Bersama pedangnya ia menyayat para musuh Allah SAW. Ummu ‘Imaroh terluka, namun tidak memedulikan lukanya, karena sesungguhnya ingatan tentang perlakuan Musailamah kepada anaknya Habib selalu teringat dalam ingatannya.

Allah SWT menurunkan pertolongannya pada kaum mukmin, dan menjadikan musuh-musuh Allah kalah. Lalu beberapa kaum muslimin bergegas menghampiri Musailamah karena ingin mendapatkan kemuliaan sebab membunuh Musailamah dan selamatnya kaum muslimin dari kejahatannya. Dengan bergegas Wahsyi menuju arah Musailamah dan mencelanya, lalu Abdullah bin Zaid menusukkan pedangnya, kemudian semua kaum muslimin juga ingin menggoreskan pedang mereka pada Musailamah. Yang mana ia adalah orang yang menyebabkan terjadinya pertumpahan darah dan menyiarkan kekafiran antara manusia. Lalu sampailah Ummu ‘Imaroh, keadaan Musailamah telah menjadi potongan-potongan yang hancur. Dengan ini Allah SWT telah melapangkan dada Ummu ‘Imaroh, dan menyejukkan matanya dengan buruknya kematian Musailamah.

Kaum muslimin tentu memerhatikan pejuang wanita yang satu ini, yang mana tangannya telah terpotong dan lukanya  mengalami pendarahan, namun ia tetap tegar. Di sini, banyak orang teringat perkataan Rasulullah SAW “tidak ada orang lain sepertimu wahai Ummu ‘Imaroh”. Maka dengan segera kaum muslimin membalut luka Ummu ‘Imaroh dan merawatnya. Lalu tentara yang menang kembali ke Madinah, dan Abu Bakar menemui tentara ini dengan senang dengan kemenangannya, menanyakan tentang Ummu ‘Imaroh, menjenguknya, dan merawatnya.

Ketika Umar bin Khatab menjabat sebagai khalifah, beliau sangat memberikan pelayanan khusus kepada Ummu ‘Imaroh. Suatu hari sayidina Umar ditanya atas pelayanannya yang berlebihan pada Ummu ‘Imaroh, beliaupun menjawab, aku mendengar Rasulullah SAW berkata: “Aku tidak menoleh ke kanan maupun ke kiri pada perang Uhud, kecuali yang kulihat Ummu ‘Imaroh berperang tanpaku”. Maka apakah hal ini tidak pantas sedangkan ia merupakan seorang dari orang-orang di belakang Rasulullah SAW yang memberikan pelayanan terbaiknya.